OPINI | 1 Juli 2020

Banteng Seruduk Banteng

Otokritik Kader PDIP Terhadap Kebijakan Pemerintahan Presiden Jokowi

Yuyung Candra Yanvingsesa
5 min readFeb 8, 2024
Photo by Rui Dias: www.pexels.com

Mendengar kata ‘banteng’ yang terbesit pertama kali dibenak kita adalah sebuah pertunjukan yang menjadi ikon atau julukan negara Spanyol yaitu matador. Sebuah pertunjukan pertarungan antara manusia melawan banteng, dimana torero terlihat seperti menari dengan gaya elegan dan gagah saat menghindari serudukan banteng.

Akan tetapi, kali ini kita tidak akan mengulas mengenai kebudayaan Spanyol tersebut. Masih sama menggunakan banteng sebagai sebagai lambang partainya, siapa lagi kalau bukan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).

Lebih spesifik perihal kritik yang dilayangkan para kadernya di parlemen kepada pemerintahan Presiden Jokowi yang notabene berasal dari partai yang sama. Sebuah tindakan diluar kebiasaan yang selama ini terjadi dimana kebanyakan dari mereka getol membela pemerintah saat isu-isu yang menyudutkan kabinet Jokowi-Maaruf silih berganti berdatangan dari oposisi maupun kritikus lintas bidang. Tentu kita bertanya-tanya gelagat apa yang terjadi sehingga sesama banteng saling seruduk.

Kita tahu bahwasanya di dalam sistem perpolitikan nasional yang menganut sistem presidensial, Presiden membutuhkan kekuatan parlemen untuk bisa melaksanakan atau menggoalkan kebijakan-kebijakan yang akan dijalankan. Maka dari itu seringkali kita mendapati kekuatan dominan unsur partai pemenang pemilu di parlemen selalu simetris dengan berbagai langkah-langkah yang dikeluarkan pemerintah (eksekutif). Karena hampir sudah pasti Presiden yang terpilih berasal dari partai yang memenangkan pemilu. PDIP dalam dua kali periode pemilu yaitu 2014 dan 2019 menjadi pemenang pemilu dengan tetap membawa sosok Jokowi sebagai tokoh sentral.

Lantas ada apa dengan hubungan panas dingin kader PDIP dengan Pemerintahan Jokowi yang tercermin dari kritikan-kritikan abnormal tersebut ?

Beragam kritikan itu bisa kita dapati dari beberapa pernyataan politisi PDIP sekelas Masinton Pasaribu, Muhammad Nabil Haroen, Hendrawan Supratikno, dan Adian Napitupulu. Pada 18 April 2020 misalnya, Masinton Pasaribu memberikan kritik keras terhadap Perppu Nomor 1 tahun 2020 (Perppu Corona) yang disebutnya sebagai kepentingan kaum oligarki.

Beberapa hari berselang, ganti anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP Muhammad Nabil Haroen juga melayangkan kritik pedasnya terhadap program Kartu Prakerja yang dinilai tidak efektif, hal itu dilihat dari pelatihan skill yang terdapat di program tersebut. Saat pemerintah menggulirkan kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan, Hendrawan Supratikno yang juga anggota DPR RI Fraksi PDIP mengkritik keras dan menyebut kebijakan itu sebagai tindakan yang tidak terpuji.

Yang terbaru dan banyak diperbincangkan, kritikan yang datang dari tokoh PDIP yang juga anggota parlemen Adian Napitupulu. Kritiknya menusuk tajam ke Kementerian BUMN yang digawangi Erick Thohir. Berbentuk tulisan dengan judul ‘BUMN dan UMKM Dalam Cerita dan Angka, Siapa Pahlawan Sesungguhnya ?’. Didalamnya terdapat banyak kritikan seputar hutang BUMN, PHK masal, dan dana talangan dari pemerintah.

Bahkan Adian menyebut dana talangan yang dikucurkan pemerintah disebut-sebut untuk memuluskan pencapresan 2024 karena rumor yang beredar terdapat salah satu menteri yang membuat deklarasi untuk menjadi capres. Beragam kritik yang tidak biasa terkesan sangat tajam dan tentu bukan dalam rangka fungsi check and balance semata antara legislative terhadap eksekutif.

PDIP sebagai sebuah partai politik tentu menginginkan adanya sustainability kekuasaan. Periode penokohan Jokowi sebagai representasi partai akan berakhir pada 2024. Tentunya PDIP harus segera mencari pengganti, tetapi sebelum itu PDIP perlu melakukan rebranding.

Rebranding perlu dilakukan karena dalam masa kekuasaan pemerintahan (regime) pasti terdapat isu-isu atau jejak-jejak peninggalan yang mengendap di memori publik dan berdampak buruk bagi partai dengan kata lain memurnikan partai, dalam hal ini PDIP merepresentasikan partaine wong cilik.

Itu bisa kita lihat dari beragam kritikan yang dilontarkan dengan menempatkan rakyat kecil (wong cilik) sebagai subjek yang dibela. Bruce I.Newman dalam tulisannya Branding and Political Marketing in the United States menyebutkan bahwa partai politik sama halnya dengan korporasi atau perusahaan yang menjajakan merek atau produknya ke pasar atau masyarakat (public). Produk yang jelas merupakan saluran komunikasi partai atau politisi kepada masyarakat, maka dari itu praktik branding politik (pencitraan/mencitrakan diri) menjadi aktivitas yang lazim kita temui di perpolitikan nasional.

Merujuk pada Gareth Smith and Alan French dalam tulisannya The Political Brand: A Consumer Perspective, disebutkan bahwa merek partai politik yang umum (paling) diingat masyarakat adalah partai itu sendiri, pemimpin partainya, dan kebijakan yang ditelurakan partai tersebut.

Disini bisa kita pahami bahwasanya kritikan beberapa kader PDIP terhadap kebijakan Presiden Jokowi yang dinilai ‘tidak pro wong cilik’ dapat dicounter dengan rebranding PDIP sebagai ‘partaine wong cilik’. Disisi lain, PDIP terlihat sibuk mempersiapkan kadernya untuk melenggang ke istana pada tahun 2024 dengan tokoh-tokohnya yang sering dimunculkan ke ruang public seperti Puan Maharani, Ganjar Pranowo dan Tri Risma Harini.

Strategi marketing politik PDIP yang terlihat di awal periode kedua Presiden Jokowi ini tentunya bukan hanya sekedar strategi kacangan. Mengingat isu yang menimpa PDIP bukan hanya berasal dari pemerintahan Jokowi, akan tetapi juga berasal dari partainya sendiri.

Tentu publik masih ingat dengan kasus suap komisioner KPU yang menyeret Harun Masiku sebagai kader PDIP ke pusaran kasus. Terlebih guliran kasus yang bak bola salju itu dikabarkan menyangkut Hasto Kristianto yang notabene Sekjen PDIP. Ditambah lagi yang baru-baru ini ramai diperbincangkan ialah Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang dianggap berpotensi membangkitkan ideologi komunisme di tanah air.

Isu-su tersebut berdampak secara langsung terhadap citra PDIP di mata masyarakat sebagai the rolling elite party sekarang ini. Kejatuhan Partai Demokrat sebagai penguasa sebelumnya nampaknya cukup dijadikan pembelajaran bagi PDIP.

Pada tahun pemilu 2004 dan 2009, Partai Demokrat menjadi parlemen majority dan melahirkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden dua periode. Namun, kekuasaan Partai Demokrat dan SBY berhenti sampai periode kedua karena terpaan isu bahkan kasus korupsi yang banyak menjerat kader-kadernya.

Kegagalan rebranding Partai Demokrat melalui citra partai maupun penokohan politisinya membuat suara (elektabilitas) partai itu amblas dan hanya sebagai penonton di tengah kekuasaan PDIP yang sigap mengambil peran.

Siklus sejarah bisa saja berulang karena sejatinya sejarah tidaklah linier — Michel Foucault.

Sejalan dengan itu, Vilfredo Pareto dalam Teori Sirkulasi Elite mengatakan bahwa didalam setiap sejarah selalu ada pergantian elite, entah itu elite yang satu diganti oleh elite yang lain, ataupun non-elite yang justru menggantikan elite yang tengah berkuasa sebagai sebuah hukum alam yang niscaya terjadi. Dalam hal ini, kejadian yang menimpa Partai Demokrat bisa saja juga terjadi kepada PDIP.

PDIP terlihat sudah tidak bisa berharap banyak kepada penokohan Jokowi yang sebentar lagi expired. Mengorbankan Jokowi dengan ikut mengkritiknya untuk mencitrakan partai sesuai arus opini publik menjadi sebuah gambling besar yang belum tentu bisa membuat citra PDIP membaik. Hal ini tentunya menarik untuk disimak, berhasilkah PDIP memperbaiki citranya dan melahirkan tokoh baru.

Tetapi yang jelas, mungkin ini adalah salah satu cara PDIP untuk menyelamatkan diri dengan mulai meninggalkan kapal besar Pemerintahan Jokowi yang sudah mulai tenggelam karena limitasi kekuasaan dan beragam isu yang tidak mudah dibendung, maka mulai mecari kapal yang baru untuk mengarungi samudera perpolitikan tanah air adalah langkah yang cukup relevan sekaligus beresiko. Semoga memberikan gambaran, terimakasih.

--

--

Yuyung Candra Yanvingsesa
Yuyung Candra Yanvingsesa

Written by Yuyung Candra Yanvingsesa

Entrepreneur — Bergerak Bermanfaat

No responses yet